Jumat, 06 Januari 2017

CERPEN : HANYUT

''Sementara punggung sinar itu berlalu, anganku semakin meredup. Dilucuti semburat kekecewaan.''
***
Lengkingan peluit, lambaian tangan masinis, deru roda besi beradu dengan rel, serta dengungan khas kereta api yang mirip terompet. Setidaknya aku tidak benar-benar sendiri, jika dilihat dari tempatku berada. Para penumpang, penjaja makanan, pengamen, pedagang asongan. Mereka bergilir pergi dan datang.
.
Kembali kutatap layar ponsel, menilik sebuah pesan yang kudapat setahun lalu.
‘Maaf, ya. Aku nggak bisa kembali. Jangan menungguku. Lupakan janji dan rencana kita. Maafkan aku, Silla. Hiduplah dengan bahagia.’
.
Dean. Semenjak itu, dia tak pernah bisa dihubungi. Sama sekali. Sempurna ia menghilang, lenyap. Apa dia serius dengan pesan itu? Tapi kenapa? Ada apa?
.
Rombongan sepoi hadir, mengekor gemuruh dan langit yang menggelap. Kapas-kapas hitam mengepung angkasa. Sebentar lagi, langit menangis. Baguslah, hujan memang kawan setia penyelimut gigil rindu atas penantian yang dilupa.
***
“Ekspresi macam apa itu? Ayolah, senyum dikit,” Dean mencubit hidungku. Aku masih muram, tentu sedih dengan perpisahan ini.
.
Kami baru lulus SMA. Dean akan melanjutkan studinya di ibukota, sedang aku kuliah di kota ini. Emak –nenekku, keluargaku satu-satunya- sudah semakin sepuh. Tak mungkin aku tega meninggalkannya.
“Kita buat kesepakatan, gimana? Empat tahun dari sekarang, setelah lulus, kita ketemu lagi di sini. Di stasiun ini, bangku ini. Aku janji bakal datang. Tapi kamu juga harus janji buat rajin belajar, rawat Emak baik-baik, jangan gampang nangis, mengeluh, nyerah, apalagi ngambek. Satu lagi, kamu harus jemput aku di sini waktu aku kembali. Setuju?” koarnya sambil memegang erat kedua bahuku. Matanya menatapku lamat, menunggu persetujuan.
“Kenapa aku harus janji sebanyak itu? Sedangkan janjimu hanya satu!” protesku sebal. Seperti biasa, remaja lelaki itu terkekeh melihat tingkahku. Lalu, lesung pipitnya akan terlihat, manis sekali.
***
Hujan lebat berkawan badai mengguyur sejak satu jam lalu. Karenanya, rona senja tertutup rapat. Tak dapat kunikmati. Ingatanku berkelana, belum ingin kembali. Satu kereta singgah, mendengung bak terompet, menjemput dan mengantar penumpang.
“Bagaimana ini, De? Aku menunggumu sejak pagi masih buta, bahkan setelah ribuan kali kubaca pesan memedihkan itu,” keluhku lirih, tertelan guntur.
.
Hari ini genap empat tahun kami berpisah. Aku sudah sarjana, Dean pun pasti sama. Seharusnya kita sudah berjumpa, melepas rindu.
***
“Sil, pulang. Aku traktir makan, deh,” Dean membujuk, berdiri mengantongi tangan di saku celana. Aku bergeming. Duduk memeluk lutut di bawah pohon cemara, membelakanginya.
“Please pulang. Emak khawatir.”
Aku mendengus.
“Emak lagi, Emak lagi! Nggak usah bicarakan dia! Orang tua pikun itu hanya bisa merusak! Beraninya dia…”
“Cukup! Diam kamu!” Dean memotong ucapanku, membentakku! Aku menunduk ketakutan, selama ini dia sangat penyabar.
.
Sahabatku itu mendekat, berdiri kaku di hadapanku. Matanya menatapku tajam. Napasnya memburu, menahan amarah.
“Berdiri!” lenganku ditariknya kasar.
“Aww! Sakit, De!” kukibaskan tangannya, lalu berdiri sambil meringis memegangi lengan kiriku.
“Sorry,” berusaha ia sentuh lenganku, namun kutepis.
Dean menghela napas panjang.
“Silla, tolong jangan kayak anak kecil.”
Aku melengos.
“Emak nangis gara-gara kamu.”
Aku mencibir sinis.
“Dasar egois! Nggak berperasaan!” intonasinya kembali meninggi.
“Memangnya aku salah apa!”
Laki-laki di depanku menggeleng-gelengkan kepala, mengacak rambutnya kesal.
“Kapan kamu bisa lebih dewasa, Sil? Kamu itu udah SMA, bukan lagi anak SD yang ingusan.”
“De! Itu jaket kesayanganku! Emak sok-sokan bantu seterika. Akhirnya? Gosong! Kalau pikun seharusnya sadar diri!”
“Diam!”
Seketika aku bungkam lagi karena bentakannya.
“Kamu lebih sayang jaket dibanding nenekmu sendiri?”
“Kenapa bukan kamu saja yang jadi cucunya?” semprotku, lalu kutinggalkan ia sendiri.
***
Pohon cemara tiga puluh meter di seberang rel. Terhuyung ke segala arah, angin kencang pelakunya. Di sanalah tempatku menghabiskan waktu bersama Dean sedari kecil, semenjak kedua orangtua Dean meninggal. Bermain, belajar, bertengkar, bercanda, menjemput fajar, mengantar senja pulang, memandang rembulan dan gemintang. Seiring waktu, perasaan itu tumbuh dengan lancangnya.
.
“Dean, aku sudah menepati janji-janjiku. Aku selalu rajin belajar, merawat Emak dengan baik, tidak lagi mudah menangis, mengeluh atau pun menyerah. Aku juga menepati janji untuk menjemputmu di sini. Menunggumu setabah embun, meski kedatanganmu tinggallah janji yang ingkar,” kuusap sudut mata.
.
“Kenapa? Kenapa tega membohongiku? Kau tahu? Aku, menyayangimu. Tapi….”
.
“Tapi, siapa aku bagimu? Sahabat kecil yang egois? Teman yang pemarah? Atau justeru bukan siapa-siapa?” aku mulai terisak.
.
“Betapa tidak pentingnya aku, hingga semudah itu kamu ingkar. Begitu, hah?”
.
Kubenamkan kepala ke pangkuan sendiri. Menangis, tersedu.
.
‘Hujan itu waktu mustajabah lho. Jadi, jangan lupa berdo’a saat hujan turun.’
Kalimat itu. Emak yang mengatakannya belasan tahun silam. Sambil membelai aku dan Dean yang ketakutan karena gelegar petir di tengah hujan deras.
.
Aku mengangkat kembali kepalaku, duduk tegak menerawang jauh ke dalam hujan. Hujan itu waktu mustajabah. Mataku memejam. Menyelaraskan akal dan perasaan. Lalu hatiku bersungguh-sungguh memanjatkan harapan, ‘Ya Allah, aku ingin bertemu Dean.’
.
Sejurus kemudian, peristiwa dahsyat terjadi! Tubuhku terpelanting, terdorong keras dari belakang oleh suatu yang amat kuat. Aku berteriak kalap.
.
Air. Ini banjir! Seminggu terakhir hujan deras memang rutin mengguyur. Sepertinya sungai daerah ini meluap. Tanggulnya jebol, mungkin.
.
“Toloooong!” jeritan demi jeritan terdengar.
.
Tanganku menggapai-gapai mencari pegangan. Sayang, arusnya terlalu kuat. Semua hancur digempurnya. Tubuhku sempurna terbungkus banjir, terseret terlempar. Berguling-guling dipeluk air bah. Menghantam tembok, bangku-bangku, menabrak gerbong kereta. Sakit. Air keruh memasuki hidung, telinga, dan mulutku. Aku kesulitan bernapas.
.
Aku terus terseret hingga kepala terantuk batang cemara. Segera aku berpegangan padanya, dan patah. Pohon cemara ‘kami’ dipatahkan banjir. Aku terseret bersamanya.
.
“Toloooong!”
.
Cukup sudah. Tenagaku habis. Kali ini aku tak berontak. Pasrah. Biarlah banjir ini menelanku. Mengangkutku entah ke mana.
.
‘Allah,’ batinku berbisik.
.
Aku tidak kuat lagi. Detakku melemah, hingga napasku seakan terambil dan darahku berhenti mengalir. Mataku terkatup. Aku hanyut.
***
Aku melihat segalanya dari angkasa. Emak tersungkur menangisi tubuhku yang terbujur kaku. Tubuh malang yang ditemukan terbaring penuh lebam di samping patahan cemara.
.
“Dean, maafkan aku. Aku mengingkari janji. Aku membuat Emak menangis lagi.”
.
Seseorang lain berjalan di angkasa, ke arahku. Lelaki tampan yang kukenal. Tubuhnya bersinar sepertiku. Senyumnya merekah, mata sipitnya menyabit, kedua lesung pipitnya muncul.
.
Semakin mendekat. Aku melambaikan tangan. Senyumku mengembang.
.
Semakin dekat. Dan hal menyakitkan itu terjadi.
.
Ya Allah, kenapa begini? Seperti tak kenal aku, ia berjalan melewatiku begitu saja.
.
Aku berbalik badan, memanggilnya.
.
“Dean!”
.
Laki-laki itu tidak peduli, tetap melenggang tanpa menyadari ada yang menunggunya dengan sejuta tanya.
.
Jombang, 13 Juli 2016

2 komentar: